Jumat, 17 Juni 2011


TITIK BALIK PERADABAN SAINS, MASYARAKAT, DAN KEBANGKITAN KEBUDAYAAN
oleh Rublik Opini pada 11 Juli 2010 jam 3:58

Dewasa ini, kita telah menemukan krisis multidimensional yaitu dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spriritual yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah perjalanan umat manusia. Kini dimensi tersebut telah melahirkan berbagai fenomena sosial dan masyarakat pada tingkat yang sangat memprihatinkan seperti kejahatan tindak kekerasan, kecelakaan, bunuh diri, alkoholisme, penyalahgunaan obat-obatan, cacat mental, penyakit kejiwaan dan sebagainya.Dampak krisis terhadap lingkungan berupa pencemaran akibat limbah kimia dan nuklir sebagaimana terjadi di negara-negara maju. Akibat limbah tersebut telah mengganggu sanitasi yang merupakan habitat murni potensial bagi seluruh kehidupan. Air yang kita minum dan makanan yang kita makan telah tercemar oleh berbagai bahan kimia beracun. Makanan sintetis yang dikemas sebagaimana dipasarkan di supermarket, sangat merajalela. Terlebih lagi pestisida, plastik, dan bahan-bahan kimia lainnya dipasarkan dengan bebas.

Kemerosotan kualitas lingkungan alam, telah dibarengi dengan meningkatnya masalah kesehatan bagi masing-masing individu. Sementara penyakit menular dan penyakit kekurangan gizi merupakan pembunuh terbesar di negara-negara dunia ketiga. Negara-negara industri diserang penyakit-penyakit hati, kanker, dan stroke sebagai pembubuh utamanya. Pada sisi psikologi, depresi yang hebat (schizofrenia) dan penyakit-penyakit psikiatris lainnya tampak muncul dari kemerosotan lingkungan sosial kita. Berbarengan dengan munculnya berbagai patologi sosial, kita juga menyaksikan adanya anomali ekonomi yang mengacaukan semua ekonom dan politisi terkemuka. Inflasi yang tinggi, pengangguran besar-besaran, dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang tidak merata telah menjadi kultur ekonomi nasional. Kecemasan yang timbul di masyarakat umum dan para wakil rakyat diperburuk oleh persepsi bahwa sumber energi dan sumber alam yang merupakan bahan dasar dari semua aktivitas terkuras habis. Para ahli dan politisi tidak tahu lagi harus mulai dari mana terhadap berbagai ancaman multidimensi - habisnya energi, inflasi, pengangguran, kejahatan, penyakit, pencemaran lingkungan, gangguan sanitasi, kualitas pendidikan dan lain sebagainya.

Keadaan jaman telah sangat mengejutkan karena orang-orang yang seharusnya ahli dalam berbagai bidang, tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang telah muncul di dalam bidang keahlian mereka. Ekonom tidak mampu memahami inflasi, dokter sama sekali bingung tentang penyebab-penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh depresi yang hebat (schizofrenia), polisi tidak berdaya menghadapi kejahatan yang meningkat, dan sebagainya. Pemerintah telah berpaling kepada para akademisi untuk berkonsultasi baik secara langsung maupun melalui tenaga pemikir yang dibentuk sebagai penasihat pemerintah dalam berbagai kebijakan. Bahkan pemerintah telah mengangkat banyak sekali para ahli hingga profesor dari kalangan perguruan tinggi untuk duduk bersama dalam menyelesaikan berbagai masalah. Elite intelektual ini merumuskan “pandangan akademik utama” dan biasanya pemerintah sepakat tentang kerangka konseptual yang mendasari nasihat mereka. Namun The Washington Post memuat cerita yang berjudul “The Cupboard of Ideas is Bare”, yang menceritakan tentang pemikir-pemikir besar yang mengaku bahwa mereka tidak mampu lagi memecahkan persoalan-persoalan kebijakan yang paling mendesak bagi bangsa mereka. Tak seorangpun dari mereka mengenali persoalan sebenarnya yang mendasari krisis pemikiran itu. Kenyataan bahwa sebagian besar akademisi menganut persepsi-persepsi realitas sempit yang tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar pada jaman sekarang. Persoalan-persoalan ini, merupakan persoalan-persoalan sistemik, yang berarti bahwa persoalan-persoalan itu saling berhubungan dan saling tergantung. Persoalan-persoalan itu tidak dapat dipahami dalam metodologi yang terpecah-pecah yang merupakan karakteristik disiplin akademik dan ciri badan pemerintah. Pada saat kita memeriksa sumber-sumber krisis kultural, ternyata tokoh-tokoh pemikir kita menggunakan model-model konseptual yang telah kadaluwarsa dan variabel-variabel yang tidak relevan.

Untuk memahami krisis budaya yang multisegi, kita perlu mengambil pandangan yang sangat luas dan memandang situasi kita dalam konteks evolusi budaya manusia. Itu berarti kita harus mengubah perspektif kita dari awal abad kedua puluh satu ke suatu rentang waktu yang mencakup ribuan tahun yang lalu yaitu dari pengertian struktur sosial statis hingga persepsi pola-pola perubahan dinamis.

Dilihat dari intensitas kerusakan lingkungan alam dan lingkungan sosial, pola-pola budaya Toynbee nampak sangat relevan karena ternyata hal itu merupakan akibat dari sejumlah transisi budaya. Diantara transisi-transisi itu terdapat tiga komponen yang yang sangat menggoncangkan dasar kehidupan manusia dan akan mempengaruhi sistem sosial, ekonomi, dan politik. Transisi pertama adalah runtuhnya sistem patriarkhal yang didasarkan pada sistem filsafat, sosial dan politik dimana pria dianggap lebih memegang peran dibandingkan dengan wanita. Akan tetapi disintegrasi patriarkhal mulai terlihat dengan adanya gerakan feminis yang merupakan salah satu arus budaya yang akan memberikan pengaruh kuat terhadap evolusi berikutnya. Transisi kedua, runtuhnya bahan bakar fosil yang paling dibutuhkan oleh teknologi modern saat ini. Dari perspektif historis evolusi budaya, jaman bahan bakar fosil menjelang habis dan puncak kecilnya sekitar tahun 2000 dan akan habis menjelang tahun 2300. Dasawarsa ini akan ditandai transisi dari jaman bahan bakar fosil ke jaman bahan bakar surya yang akan melibatkan perubahan-perubahan radikal dalam sistem ekonomi dan politik. Transisi ketiga, berhubungan dengan nilai budaya yang disebut dengan perubahan paradigma yang akan mempengaruhi pemikiran, persepsi, dan nilai-nilai dalam pembentukan suatu visi realitas baru. Paradigma yang menganggap metode ilmiah segala-galanya harus ditransformasi kebentuk pengetahuan intuitif yang lebih berorientasi pada wawasan sosial dan lingkungannya. Dengan demikian akan ada hubungan yang selaras antara berbagai kehidupan dengan alam. Sebagaimana falsafah Cina yang menitikberatkan pada keseimbangan alam antara Yin dan Yang dimana Yang berada disisi pengetahuan rasional, analisis, dan ekspansi sementara Yin sebagai sosok feminim kita yaitu kearifan intuitif, sintesis dan kesadaran ekologis. Dengan ini kita akan menyadari betapa selain adanya pengetahuan ilmiah dengan segala keterbatasannya, terdapat juga pengetahuan intuitif atau kesadaran yang sama sahih dan terpercayanya bahkan akan membangun peradaban baru yang seimbang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar