Sabtu, 07 Januari 2012

Makalah


ISME-ESME PENYEBAB LUNTURNYA NILAI-NILAI PANCASILA

By Kam Imam
BAB I
1.1.  Pendahuluan
Ditinjau dari arti Bahas atau arti kata (etimologis) istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang mengandung dua macam arti. Panca artinya lima, syila dengan huruf i yang dibaca pendek artinya batu sendi, dasar, alas atau asas. Sedang apabila pengucapan syila dengan huruf i panjang (syi;la) berarti peraturan tingkah laku yang baik, utama atau yang penting. Istilah Pancasila ditinjau dari segi kesejarahan (historis) pertama kalinya ditentukan dalam agama Budha. Pancasila berarti lima aturan kesusilaan (five moral principe) merupakan ajaran Budha yang harus ditaati dan dikerjakan oleh seluruh penganut (awam) agama Budha
Pancasila merupakan sendi, asas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Secara singkat dapat diuraikan bahwa kedudukan Pancasila adalah sebagai dasar Negara RI. Lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akibat tidak satunya kata dan perbuatan para pemimpin bangsa, Pancasila hanya dijadikan slogan di bibir para pemimpin, tetapi berbagai tindak dan perilakunya justru jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Contoh yang tidak baik dari para pemimpin bangsa, stake holder baik ditingkat daerah sampai pusat dalam pengamalan Pancasila telah menjalar pada lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Kurangnya komitmen dan tanggung jawab para pemimpin bangsa melaksanakan nilai-nilai Pancasila tersebut, telah mendorong munculnya kekuatan baru yang tidak melihat Pancasila sebagai falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia.

1.2.   Latar Belakang Masalah
Pancasila merupakan ideologi bangsa indonesia, dimana dalam perumusan dan penyusunannya banyak melakukan perundingan-perundingan yang melibatkan banyak pihak sehingga menghasilkan butir-butir Pancasila. Butir-butir Pancasila tersebut adalah hasil musyawarah bersama yang dibuat dengan tujuan agar dapat menjadi pedoman bagi masyarakat indonesia dalam menjalankan hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila juga merupakan sendi, asas, dasar atau peraturan tingkah laku yang penting dan baik. Secara singkat dapat diuraikan bahwa kedudukan Pancasila adalah sebagai dasar Negara RI. Untuk mengatur pemerintahan dan penyelenggaraan Negara, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Remaja merupakan calon penerus bangsa yang diharapkan dapat membangun dan memajukan bangsa dengan menerapkan nila-nilai didalam Pancasila. Namun, dalamperjalannya arus globalisasi yang masuk ke indonesia berdampak pada pola pikir dan gaya hidup remaja. Sering kali remaja terkait dalam persoalan kerusuhan tak sedikit pula yang menjadi provokator dalam aksi-aksi kerusuhan. Bukan berbicara yang penting namun terbalik faktanya yang penting berbicara dan berorasi tanpa mengetahui dasar hukumnya, aksi-aksi anarki dan serangkaian perilaku yang tidak mencerminkan orang terdidik. Padahal didalam butir-butir Pancasila yang telah disusun sedemikian rupa terdapat nilai-nilai budi pekerti yang diharapkan dapat memacu remaja untuk berprestasi, berkreasi dan memaknai pancasila sebagai sebuah pondasi yang terinternalisasi kedalam jiwa dan prilaku mereka sehingga bisa meminimalisir  Kenakalan remaja yang tidak diinginkan oleh para pejuang-pejuang dahulu kala.
Besar harapan founding Father (Penggagas bangsa Indonesia) dalam memerdekakan bangsa ini seharusnya ada nilai tersendiri yang bisa dipetik oleh generasi penerusnya bukan malah sebaliknya. Kita sadar dan tahu bahwa Masa depan sebuah bangsa ditentukan oleh anak bangsa itu sendiri dalam hal ini generasi muda sebagai pewaris negeri pelanjut sejarah, Nah kalau ternyata generasi Bangsanya  mengalami degradasi moral, tak diragukan lagi bahwa generasi mudanya maka hancur begitu pula dengan masa depan bangsa itu, sebaliknya kalau bagus generasi mudanya, prestatif usahanya, kreatif pikirannya dan bermoral tingkah lakunya, maka cemerlang pula masa depan bangsa tersebut.
Indonesia sebagai sebuah negeri hasil jerih payah generasi terdahulu dengan perang fisik antara leluhur dan pejuang bangsa kita melawan penjajah, bagaimana merebutnya, bahkan harta, darah dan nyawa telah di sumbangkan demi eksisnya bangsa Indonesia, tapi sayang mayoritas anak bangsa ini justru membuat redupnya harapan masa depan, mengapa tidak, coba lihat pembangunan moral yang terkondisikan dengan berbangga-bangga berbuat maksiat, anak bangsa yang jadi pejabat menghiasi dirinya dengan korupsi dan manipulasi, anak bangsa yang jadi pedagang menari meraup keuntungan dengan merekayasa timbangan, anak bangsa yang jadi selebritis dengan ringannya berbuat sek bebas dan berusaha di publikasikan supaya menjadi konsumsi anak bangsa yang lainnya, coba lihat juga dunia pelajar, remaja dan pemuda malah asik tawuran, mabuk-mabukan, geng motor yang anarkis dll, bahkan kalangan  penegak hukum seperti polisi, jaksa dan pengacara  menjadi terpidana dan penjahat kejaran hukum. Hal ini tidak lepas dari pragmatisme dan hedonisme yang telah merasuk kedalam jiwa mereka. Mereka ingin semuanya serba cepat, Instan dan gampang untuk meraihnya.
Sulit Rasanya untuk membina anak bangsa negeri ini, karena para seniornya tidak memberikan tauladan justru meracuninya dengan kemaksiatan, anak bangsa negeri ini stress menyaksikan perilaku orang tuanya disudut lain ada gerakan misi yang sengaja menciptakan kehancuran generasi Indonesia yang mayoritas Muslim ini, gerakan misi itu melancarkan konsep Pragmatis dan Hedonis kepada kalangan muda, generasi muda Indonesia yang mayoritas Muslim itu berusaha dijauhkan dengan nilai-nilai yang seharusnya menjadi pegangan dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka justru asyik masyuk tergoda dengan ide, life style, penampilan yang meniru gaya-gaya barat yang justru memiliki budaya yang jauh sangat berbeda dengan bangsa yang kita cintai ini. Sehingga generasi kita hari ini lebih pada generasi instan, gak mau susah-susah, bekerja sama ataupun yang lainnya yang mencerminkan budayanya sendiri. 
Di tanah air kita ini sekarang tersebar aliran-aliran generasi nongkrong, kongkow, gang, generasi yang hanya mengunjing kesana kemari, generasi yang tak mau ada aturan yang justru membangun dan mendidik mereka. Mereka lebih suka menjadi pemuda dan remaja yang ingin memiliki “kebebasan”, kebebasan bergaul, kebebasan berpakaian, kebebasan berprilaku, kebebasan bertindak sehingga tidak dapat dipungkiri kita mereka merasa di halangi maksud, tujuan dan keinginannya, anarkhis adalah jalan satu-satunya bahkan menjadi kebanggaan mereka. Saya tak mau berburuk sangka dalam konteks ini namun bisa kita sederhanakan bahwa perilaku dan tindakan mereka adalah sebuah tindakan yang sebenarnya meniru  generasi pendahulunya. Mereka menginginkan kehidupannya terlepas dari ikatan hukum apapun atau larangan dari aturan apapun baik agama maupun hukum negara.
Kalau generasi muda bumi pertiwi ini sudah mengejar kebebasan, pragmatisme dan hedonisme yang telah menjadi nilai sempurna dalam kehidupannya sebagai akibat dari gerakan misi budaya lain yang telah mengkristal di jiwa para remaja yang selalu  muak dengan aturan yang ada dinegeri ini yang tidak, maka seperti apa kira-kira nasib bangsa ini dihari mendatang?.
Bangsa tercinta ini akan Benar-benar hancur diporak porandakan bencana moral, bahkan aneh sekali dinegara yang katanya Negara hukum ini justru yang dilindungi dan dibela adalah para pelanggar hukum, dari kalangan apapun dia asal punya rupiah maka akan dibela habis-habisan, tapi coba lihat nasib para pejuang moral kian hari kian dihujat dan ahirnya dihancurkan dengan peluru fitnah seakan pejuang itu bersalah dan akhirnya digiring ke penjara diposisikan sebagai penjahat. Pertanyaan dalam benak kita, ada apa dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa ini? Apakah ada yang salah dalam penerapannya? Ataukah kita yang sudah tidak lagi berpegang pada nilai-nilai ini. Tentu dalam hemat pikir saya, tidak ada yang salah dalam pancasila, namun para stake holder dan generasi terdahululah yang mempunyai tanggung jawab meneruskan apa yang menjadi misi founding father bangsa ini tidak mampu menjadi suri tauladan bagi generasi setelahnya. Lihat saja misalnya dunia hukum kita yang semakin memusingkan, mereka yang mencuri Ayam dihukum bahkan dipenjara berbulan-bulan, sedangkan mereka yang mencuri uang Negara bebas lenggang kangkung pergi tanpa jelas rimbanya, degradasi moral inipun sebenarnya tidak lepas dari faktor ekonomi yang kian hari kian tidak jelas. Sehingga berperan penting dalam merusak moral, disadari atau tidak Indonesia itu pada saat ini dikendalikan kapitalis, asas kapitalis adalah  asas manfaat, artinya apa saja dimanfaatkan asal bisa mendatangkan uang, tak peduli produk atau usaha-nya itu akan merusak moral atau tidak, seperti Narkotika, minuman keras, hiburan malam, prostitusi, Video porno dll, dari itu semua berakibat moral anak bangsa ini hancur.
Ayo anak bangsa singkirkan pornografi, porno aksi dari kehidupan kita, jauhkan perjudian, mabuk-mabukan, bergaya hidup bebas dalam dunia kita, Raih masa depan dengan  prestasi demi prestasi, janganlah salah mengidolakan kalau sang idola berprestasi tirulah tapi kalau sang idola berbuat maksiat tinggalkanlah dan jangan ditiru, karena  konsep perusak generasi muda salah satunya melalui penciptaan idola, melalui sang idola ini generasi muda yang meng-idolakannya akan meniru  apapun yang ada pada diri sang idola, baik pakaian, bentuk dan warna rambut, asasoris yang dikenakannya, atau prilakunya meskipun negatif, seperti contoh, kasus seorang artis yang terjadi di negeri ini meskipun  apa yang dilakukannya adalah kebejatan moral tapi dengan buta mata para pengagumnya terus membela meskipun kelakuan sang idolanya merusak moral bahkan bisa jadi virus yang menular dalam arti kelakuannya banyak yang meniru, apalagi jika yang bersangkutan terbebas dari jerat hukum atau hukum yang dikenakannya ringan, para pengagumnya bisa ada yang meniru dan tidak takut hukum karena ada contoh yang ada terbebas atau ringan hukumannya. Maka kasus seperti ini pelakunya harus dituntut dengan resiko hukum yang sangat berat supaya tidak ditiru karena takut dengan resiko hukum.
Hal lain yang perlu diwasdai adalah Shock Culture (budaya terkejut) yang dialami para pemuda kita. Dimana mereka akan terbius dengan iklan-iklan dan propaganda  para kapitalis yang hanya menginginkan keuntungan. Shock culture disini akan dimainkan oleh para kapitalis yang diperankan oleh para public figure yang dalam hal ini adalah artis. Kita tahu dan sadar bahwa sebagian masyarakat dan pemuda kita benar-benar sudah terbius dan terpengaruh oleh mereka, sehingga tidak heran kalau para fans fanatiknya menjadikan mereka sebagai berhala-berhala hidup masa kini yang dipuja-puja. Sehingga ketika mereka melakukan improvisasi budaya dalam berbagai aspek, fannya pun akan mengikutinya. Sangat luar biasa kalau budaya hidup yang dicontohkan para public figure itu adalah hal-hal yang positif sehingga fannya pun mengikuti pola hidup positif tapi sebaliknya. Nah ini yang justru yang ditakutkan oleh kita semua.
Perlu diketahui bahwa untuk menjaga nama baik dan citra bangsa kita bukanlah dengan meniru bangsa lain yang “lebih maju” dalam berbagai aspek namun bagaimana kita melakukan improvisasi seperti citra dan kebudayaan bangsa kita yang kita memiliki. Kemajuan suatu bangsa bukanlah keberhasilan mengikuti budaya bangsa lain, tapi kemampuan kita menterjemahkan nilai-nilai pancasila yang menjadi falsafa bangsa ini kedalam berbagai aspek sehingga kita pun memiliki jati diri yang bermartabat yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Life style model barat, sudah seharusnya segera kita tinggalkan dengan life style budaya ketimuran yang kita miliki. Memaksimalkan nilai-nilai pancasila bukanlah menunggu pelatihan, saran dan juga pendidikan moral pancasila yang harus kita ikuti. Namun tergantung iktikad baik personal bangsa ini bagaimana membangun negri ini dengan setulus hati dan memahami nilai-nilai pancasila yang telah menjadi falsafah bangsa ini.

1.3 Rumusan Masalah
  Sebagai bahan informatif bagi pembaca makalah ini akan membahas:
a)      Bagaimana Sejarah Pancasila dan siapakah yang berperan didalamnya?
b)       Apa penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila?
c)      Faktor faktor apakah yang mengakibatkan degradasi moral Mahasiswa?
d)      Bagaimana peran Pancasila dalam memfilter arus globalisasi?

1.4 Lingkup Bahasan 
a)      Makalah ini akan membahas tentang sejarah Pancasila, makna dan nilai yang terkandung didalamnya dan siapakah para founding father bangsa ini yang terlibat dalam menggagas Ideologi bangsa ini.
b)      Menjelaskan dan memahami Paham-paham yang telah menggurita dan terinternalisasi kedalam jiwa-jiwa bangsa yang meyebabkan lunturnya Nilai-nilai Pancasila
c)      Latar belakang dan faktor yang menyebabkan degradasi moral mahasiswa
d)     Fokus dan mengkaji sejauh mana ideologi pancasila dalam memfilter arus globalisasi yang sudah menjadi trend internasional sehingga perlu adanya kreatifitas dalam memaknai bagaimana pancasila memberikan tafsir ulang terhadap arus yang begitu kuat ini.
1.5  Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana terbentuknya Pancasila, cita-cita dilahirkannya dan para founding father yang terlibat didalamnya
2.      untuk mengetahui sejauh mana Isme-isme yang telah masuk kedalam bangsa ini dan mempengaruhi masyarakat bangsa ini.
3.      Untuk mengetahui penyebab degradasi moral ditingkat pemuda
4.      Untuk mengetahui peran pancasila memfilter arus globalisasi yang masuk ke Indonesia.

Sedangkan kegunaan penulisan paper ini adalah:
1.      Memperkaya wawasan dan pengetahuan penulis atau pembaca tentang pancasila dan penyebab lunturnya nilai-nilai pancasila.
2.      Sebagai dasar pemahaman bagi masyarakat bangsa tentang pemahaman yang dapat mempengaruhi cita-cita, kesatuan bangsa dan melunturkan nilai-nilai pancasila.
3.      Sebagai pembelajaran bagi penulis dan pembaca bahwa tindakan pencegahan lebih penting daripada melakukan tindakan penghukuman, untuk itulah perlu kiranya adanya methodologi khusus agar nilai yang terkandung dalam pancasila benar-benar terdistribusikan bagi para pemuda bangsa Indonesia.
1.6   Pendekatan
      1. Secara Etimologis
Ditinjau dari arti lughawy atau arti kata (etimologis) istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang mengandung dua macam arti. Panca artinya lima, syila dengan huruf i yang dibaca pendek artinya batu sendi, dasar, alas atau asas. Sedang apabila pengucapan syila dengan huruf i panjang (syi;la) berarti peraturan tingkah laku yang baik, utama atau yang penting. Dengan demikian istilah Pancasyila dengan huruf i biasa berarti berbatu sendi yang lima, sementara istilah Pancasyila dengan memanjangkan ucapan syi:la berarti lima tingkah laku utama, atau pelaksanaan lima kesusilaan (Pancasyila Krama).
     2.  Secara Historis
Istilah Pancasila ditinjau dari segi kesejarahan (historis) pertama kalinya ditentukan dalam agama Budha. Pancasila berarti lima aturan kesusilaan (five moral principe) merupakan ajaran Budha yang harus ditaati dan dikerjakan oleh seluruh penganut (awam) agama Budha. Sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Tri Pitaka (Sutta Pitaka, Abhidama Pitaka dan Vinaya Pitaka) atau Tiga Keranjang Besar. Dalam Kitab Vinaya Pitaka yang berbahasa Pali dicantumkan lima pantangan atau lima larangan yang benar-benar wajibdihindari oleh setiap oemeluk agama Budha, yaitu:
1) Panatipata Veramani Shikkapadam Samadiyami (Kami berjanji untuk menghindari pembunuhan)
2) Adinnadan Veramani Shikkapadam Samadiyami (Kami berjanji untuk menghindari pencurian)
3) Kamesu Micchara Veramani Shikkapadam Samadiyani (Kami berjanji untuk menghindari perzinaan)
4) Suna Meraya Majja Pamadatthana Veramani Shikkapadam Samadiyani (Kami berjanji untuk menghindari makanan dan minuman yang memabukkan dan menjadika ketagihan) (Zainil Abidin, 1958:361)
Dengan masuknya agama Budha ke Indonesia berarti juga ajaran Pancasila Budha sebagaimana diatas terikutkan dengan sendirinya. Pada masa kerajaan Majapahit dibawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk istilah Pancasila masuk dalam kesusteraan Jawa Kuno, seperti yang terdapat dalam buku”Negaraketagama”, karya pujangga Empu Prapanca berikut: “Yatnaggegwani Pancasyiila Kertasangskakarbhisekaka Krama”, artinya Raja menjalankan kelima pantangan (Pancasila) dengan setia. Begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-penobatan. Selain istilah Pancasila terdapat dalam buku Negarakertagama, istilah yang sama terdapat juga dalam buku “Sutasoma” kayaa Empu Tantular. Dalam buku Sutasoma istilah Pancasila diartikan sebagai pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Krama), yaitu:
1).  Tidak boleh melakukan kekerasan
2).  Tidak boleh mencuri
3).  Tidak boleh berwatak dengki
4).  Tidak boleh berbohong
5).  Tidak boleh mabuk minuman keras
BAB II
2.1  KAJIAN TEORI
Dalam sebuah Negara Ideologi adalah salah satu faktor penting yang menjadi pegangan setiap rakyat dan bangsa. Ideologi berfungsi sebagai tatanan nilai untuk menentukan arah masa depan bangsa dan rakyat. Agar Negara tidak berjalan sporadis dan tanpa arah, ideology adalah salah satu kunci untuk menjawab problematika bangsa supaya konsistensi individu dan nilai personal bisa dipertanggung jawabkan, maka setiap warga Negara harus memahami apa yang menjadi ideology Negara sehingga tidak mudah terpengaruh dengan ideology dan budaya bangsa lain yang memiliki nilai dan peran yang berbeda bagi masing-masing Individu.  Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah.[1] Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.[2]
Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.[3]
Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia. Ideologi bukanlah tujuan dalam sebuah bangsa akan tetapi sebagai media dan alat bagaimana bangsa menata kehidupan, tata nilai kesehariannya dan dalam berbagai aspek lainnya. Sehingga wajar dan menjadi tanda tanya besar ketika sebuah bangsa mengalami problem yang begitu akut, ekonomi yang terpuruk bahkan tatanan rencana masa depannya kurang jelas alias tetap tertinggal dari negara lainnya. Bukan karena sumber daya alam yang tidak mumpuni, sumberdaya manusia yang belum siap tapi karena Ideologi bangsa tersebut tercerabut dan tata nilai yang dimaksud sehingga mempengaruhi sumber daya alam yang tersedia dan sumber daya yang akan mengelolanya.
Tentunya Indonesia sebagai sebuah negara yang besar dan terdiri dari berbagai macam pulau dimana sumber daya alamnya begitu luar biasa dibandingkan dengan sumber daya negara lain harusnya memiliki tata nilai yang harusnya wajib ditanankan kepadapemuda bangsa agar mereka memilki jati diri dan nasionalisme yang kuat agar tidak mudah dipengaruhi oleh nilai dan budaya diluar bansanya sendiri. Untuk itulah perlu kiranya kita mempelajarai pancasila, sejarah lahirnya dan siapa saja yang terlibat sebagai bahan renungan bahwa perjuangan yang mereka lakukan bukanlah perjuangan temporer yang hanya main main. Akan tetapi sebuah perjuangan yang wajib diapreasi dan diamalkan oleh para komponen bangsa dengan cara menjalankan dan berbagi info tentang makna dan nilai yang terkandung dalam pancasila tersebut. Disamping itu penting rasanya kita mengkaji ulang ideologi bangsa ini yang lambat laun mulai mengalami abrasi dengan dengan masuknya berbagi ideologi kedalam bangsa ini
2.2  PEMBAHASAN
      2.2.1  Sejarah Pancasila
Kemerdekaan bangsa Indonesia pertama kali diumumkan oleh Pemerintah Militer di Indonesia pada tanggal 17 September 1944 oleh perdana Menteri Koyso, bahwa dalam waktu dekat akan dibentuk suatu badan yang bertugas mempelajari langkah-langkah mana yang perlu diambil sebagai persiapan kemerdekaan. Oleh karena terus menerus terdesak, makapada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura).
Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 28 Mei 1945 telah dilantik resmi oleh badan yang diketuai oleh seorang jepang, akan tetapi kenyataanya dipimpin secara bergiliran oleh dua orang ketua muda, yaitu Dr. Rajiman Wediodinigrat dan R.P. Suroso. Pada mulanya anggotanya hanya berjumlah 63 orang. Badan ini mengadakan dua kali sidang yang pertama kali pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni dan yang kedua pada tanggal 10-17 Juli 1945.
Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
 4. Peri Kerakyatan
 5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga
terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1.  Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2.  Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3.  Mufakat atau Demokrasi
 4.  Kesejahteraan Sosial
 5.  Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:  1. Sosio nasionalisme 2. Sosio demokrasi 3. Ketuhanan.
Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:  1. Ir. Soekarno 2. Ki Bagus Hadikusumo 3. K.H. Wachid Hasjim 4. Mr. Muh. Yamin 5. M. Sutardjo Kartohadikusumo 6. Mr. A.A. Maramis 7. R. Otto Iskandar Dinata 8. Drs. Muh. Hatta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinyadibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu: 1. Ir. Soekarno 2. Drs. Muh. Hatta 3. Mr. A.A. Maramis 4. K.H. Wachid Hasyim 5. Abdul Kahar Muzakkir 6. Abikusno Tjokrosujoso 7. H. Agus Salim 8. Mr. Ahmad Subardjo 9. Mr. Muh. Yamin.
Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama:
 (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya)
(2)      memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.
Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggotatokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.
Sekilas potret dan sejarah terbentuknya Pancasila sebagai idiologi dan falsafah bangsa Indonesia adalah sebagai bahan reflektif bagi para pemuda dan masyarakat bangsa Indonesia bahwa sebenarnya tidak semudah membalik telapak tangan, butuh orang-orang yang berjiwa besar yang berjiwa Indonesia untuk menyatukan dan menciptakan pandangan Hidup ini sehingga melahirkan tatanan masyarakat yang damai dan makmur hidup berdampingan satu sama lain dengan menganggap bahwa perbedaan sebagai sebuah anugrah yang harus dijaga dan dipertahankan sampai akhir hayat sehingga dengan seperti itu Indonesia mampu melindungi dan menghargai satu sama lain demi terwujudnya cita-cita bersama yaitu masyarakat mandiri, berdikari dan makmur yang disegani dan dihargai dimata dunia
       2.1.2.  Isme - isme penyebab lunturnya nila-nilai Pancasila
Jika dibandingkan pemahaman masyarakat tentang Pancasila dengan lima belas tahun yang lalu, sudah sangat berbeda, saat ini sebagian masyarakat cenderung menganggap Pancasila hanya sebagai suatu simbol negara dan mulai melupakan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Padahal Pancasila yang menjadi dasar negara dan sumber dari segala hukum dan perundang-undangan adalah nafas bagi eksistensi bangsa Indonesia. Sementara itu, lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akibat tidak satunya kata dan perbuatan para pemimpin bangsa, Pancasila hanya dijadikan slogan di bibir para pemimpin, tetapi berbagai tindak dan perilakunya justru jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Contoh yang tidak baik dari para pemimpin bangsa dalam pengamalan Pancasila telah menjalar pada lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat.
Kurangnya komitmen dan tanggung jawab para pemimpin bangsa melaksanakan nilai-nilai Pancasila tersebut, telah mendorong munculnya kekuatan baru yang tidak melihat Pancasila sebagai falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia. Akibatnya, terjadilah kekacauan dalam tatanan kehidupan berbangsa, di mana kelompok tertentu menganggap nilai-nilainya yang paling bagus. Lunturnya nilai-nilai Pancasila pada sebagian masyarakat dapat berarti awal sebuah malapetaka bagi bangsa dan negara kita. Fenomena itu sudah bisa kita saksikan dengan mulai terjadinya kemerosotan moral, mental dan etika dalam bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi muda. Timbulnya persepsi yang dangkal, wawasan yang sempit, perbedaan pendapat yang berujung bermusuhan dan bukan mencari solusi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, anti terhadap kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung mengundang tindak anarkhis.
Adapun Isme-isme (Paham-paham) yang telah mengikis perlahan-lahan nilai-nilai yang termaktub dalam pancasila diantaranya adalah:
1. Fanatisme
Fanatisme adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Menurut definisinya, Fanatisme biasanya tidak rasional atau keyakinan seseorang yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya.
Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat menimbulkan perilaku agresi. Individu yang fanatik akan cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional.
Pengertian Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini.
Ciri-ciri yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk : (a) fanatik warna kulit, (b) fanatik etnik/kesukuan, dan (c) fanatik klas sosial. Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau klas sosial.
Fanatisme yang berlebihan dalam berbagai aspek kehidupan baik Agama, Suku. Ras, dan juga golongan akan melahirkan suatu sikap yang berlebihan sehingga mereka akan berbuat sesuka hatinya karena beranggapan bahwa orang diluar pemahaman dirinya adalah salah dan keliru. Fanatisme inilah yang kemudian melunturkan nilai-nilai kesatuan dalam perbedaan yang tertera didalam nilai falsafah bangsa ini. Fanatisme dalam Agama yang berlebihan misalnya, Dia akan menganggap bahwa agama lain adalah salah sehingga mereka boleh diperlakukan bagaimanapun dengan dalil-dalil yang mereka tafsiri semaunya sendiri, sehingga tidak jarang banyak konflik antar agama yang terjadi di Indonesia di sebabkan karena mereka memahami agamanya terlalu dangkal dengan menafikan agama lain yang ada di lingkungannya, mereka sudah tidak berfikiran bahwa mereka hidup dalam dunia majemuk dan mulkutural yang terdiri dari berbagai macam Agama yang diakui oleh Negara dimana memiliki hak yang sama dan merata untuk tinggal dan berdampingan satu sama lainnya. Bahkan fanatisme bukan hanya terjadi dan lahir dari hal-hal yang natural yang ada pada diri kita, tapi juga pada produk-produk yang dia sukai, bagaimana misalnya orang-orang yang fanatik terhadap sistem operasi, fanatik terhadap style, ada juga yang fanatik dengan idola yang dipujanya. Sebagian lain fanatik terhadap ideology baru yang dianutnya.
Fanatik itu sungguh luar biasa. Kadang orang rela mati, bersitegang dengan apa yang menjadi fanatiknya. Contohnya adalah Harley Davidson, mereka yang fanatik terhadap motor gede itu bahkan rela mentato tubuhnya dengan slogan-slogan, logo, dan nama Harley. Fanatik lain misalnya fanatisme supporter terhadap salah satu klub sepak bola.
Fanatik boleh dan sah-sah saja, namun bilamana fanatic ini masuk pada wilayah Fanatisme yang berlebihan sehingga mengganggu pada keutuhan bangsa dan meruncingnya problem ditengah-tengah masyarakat yang majemuk ini, tentunya sebagai masyarakat Indonesia yang sadar akan keberagaman bangsa ini, kita akan berupaya untuk mengurangi dan mengikis sedikit demi sedikit agar tidak menjadi problem bangsa baru yang hadir di bumi pertiwi yang kita cintai ini
2. Egoisme
Istilah "egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti "Diri" atau "Saya", dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan demikian, istilah ini etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme. (http://id.wikipedia.org/wiki/Egoisme).
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". Lawan dari egoisme adalah altruisme.
Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang ia memberikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan altruisme, irasionalitas dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.
Egoisme berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna.
Egoisme personal mungkin masih bisa ditolerir ketika bentuknya positif misalnya belajar yang berlebihan dan lain sebagainya. Namun kalau Egoisme negative yang merugikan orang lain tidak bisa dipertahankan bahkan harus dikikis karena justru akan berakibat merugikan orang lain. Begitu pula egoisme kelompok, justru itu yang sangat berbahaya karena justru merusak sendi-sendi keragaman bangsa, Egoisme juga akan melahirkan sifat penindasan yang kuat kepada yang lemah.
Egoisme dalam berbagai aspek hampir sama dengan fanatisme, bisa terjadi pada Agama, Suku, Ras dan lain sebagainya. Egoisme agama misalnya. Agama A menindas agama B dengan bentuk pelarangan mendirikan tempat beribadah pada agama B disekitar lingkungannya, padahal B dalam poses pendirian tempat Ibadahnya tidak melanggar secara hukum baik hukum agama A karena tidak melakukan perampasan dan hal-hal yang berbau kecurangan maupun lainnya yang merugikan agama A, dan juga hukum positif Negara Indonesia karena secara administrative pendirian bangunannya sudah mendapatkan ijin dari pihak-pihak yang berwenang, bahkan tempat ibadah yang akan dibangun tersebut berada di lingkungan dan komunitasnya agama B.
Nilai luhur pancasila mengajarkan kepada kita semua untuk bisa hidup damai dan berdampingan dengan siapapun yang ada di bumi Indonesia, mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, mengutamakan musyawarah mufakat daripada keputusan Individual dan tentunya lebih mengutamakan hidup bersama dengan baik dengan orang yang ada dilingkungan sekitar kita dari pada hidup sendirian. Berbeda dengan dunia barat dimana mereka memiliki dan meneapkan nilai-nilai Individualistik yang hampir sama dengan egoisme.
3. Hedonisme
Kata hedonisme diambil dari Bahasa Yunani hedonismos dari akar kata hedone, artinya "kesenangan". (Henk ten Napel.2009,Kamus Teologi:158).  Paham ini berusaha menjelaskan adalah baik apa yang memuaskan keinginan manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. (Frans magnis suseno, Etika Dasar.1987:114). Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia. (Lorens Bagus.2000, Kamus Filsafat:282).
Hedonisme sebagai istilah yang menunjukan paham kesenangan berasal dari kata Hedone yang berarti kesenangan. Dalam kamus Bahasa Indonesia, Hedonisme berarti paham yang beranggapan bahwa kesenangan adalah yang paling benar di dunia ini.
Di dalam sejarah filsafat yunani kuno, tokoh filsuf yang pertama memperkenalkan Hedonisme adalah Democritus (400-370 SM), yang memandang kesenangan sebagai tujuan pokok di dalam hidup. Kendatipun yang dimaksud bukanlah hanya sekedar kesenangan fisik saja, melainkan kesenangna fisik sebagai alat perangsang bagi berkembangnya intelektual manusia. Epicurus (341-270 SM), sebagai tokoh masa Hellenisme, ia lebih mempunyai argumen yang lebih rinci mengenai Hedonisme. Baginya kesenangan tetap menjadi sumber norma, tetapi tidak sekedar meliputi kesenangan jasmaniah semata-mata, sebab kesenangan ini, terutama yang terlalu berlebihan akhirnya akan menimbulkan rasa sakit pula. Banyak makan enak terkadang akan menimbulkan sakit perut, begitu juga banyak melakukan hubungan seksual akan menyebabkan kelelahan yang luar biasa. Senang bagi Epicurus bermakan tidak adanya rasa sakit di dalam badan dan tidak adanya kesulitan kejiwaan. Sehingga puncak Hedone menurut Epicurus adalah ketenangan jiwa.
Hedonisme di Lingkungan Mahasiswa
Mahasiswa sebagai generasi calon penerus bangsa tentu sedikit banyak sangat di harapkan mampu memberikan yang terbaik untuk bangsa ini, lalu apa yang dapat diberikan oleh seorang mahasiswa apabila ia pun masih belum menyadari apa yang dilakukannya sehari-hari adalah salah satu permasalahan yang harus di tangani.
Di berbagai lingkungan mahasiswa di daerah, sering kita mendapat kabar, baik lewat televisi, koran, majalah dll, mahasiswa yang tertangkap sedang melakukan pesta miras, atau melakukan hubungan seksual. Sepertinya hubungan sek di lingkunngan mahasiswa sekarang ini merupakan sebuah hal yang biasa terjadi dan tidak perlu di permasalahkan. Ada beberapa kasus yang secara langsung maupun tidak langsung saya perhatikan, di suatu Universitas, sering sekali saya mendengar peristiwa hamil di luar nikah yang hasil dari hubungan seks di lingkungan mahasiswa. Bahkan hubungan pribadi seperti pacaran rasanya tidak sah apabila hanya sekedar peluk-pelukan oleh karena itu hubungan sek hanya dianggap sebagai hal yang biasa di saat berhubungan pacaran. Ironisnya dalam suatu peristiwa yang secara langsung saya sendiri megetahuinya, seorang mahasiswa perempuan dan laki-laki berhubungan pacaran telah biasa melekukan hubungan sek seperti halnya seseorang yang telah bersuami istri, lebih parahnya lagi di saat hubungan pacaran itu berakhir tidak ada rasa penyesalan sama sekali di kedua belah pihak terutama dari pihak perempuan yang seharusnya merasa telah kehilangan kehormatanya bahkan pihak perempuannyalah yang mengakhiri hubungan pacaran tersebut tanpa mempertimbangkan apa yang telah terjadi di saat mereka berhubungan pacaran layakanya hubungan suami istri yang sah. Secara tidak langsung meskipun ini hanya sebagai satu contoh saja, kita bisa menyimpulkan bahwa ternyata hubungan sek di lingkungan mahasiswa merupakan hal yang biasa saja saat berhubungan pacaran.
Peristiwa hubungan seks diluar pernikahan baik di lingkungan mahasiswa ataupun bukan, semakin di dukung dengan banyaknya praktik dokter aborsi, yang mana apabila dari hubungan sek di liuar pernikahan tersebut menghasilkan seorang janin, dokter aborsilah datang seperti seorang malaikat yang akan memberikan sebuah pertolongan agar janin tersebut tidak sampai hidup di dunia ini, apabila janin tersebut memang tidak diharapkan untuk hadir dalam kehidupannya. Akhir-akhir ini kita di guncangkan dinegan berita telah di temukannya tempat praktik aborsi disebuah dareah di jakarta yang sudah praktik lebih dari 2 tahun, tentu dengan peristiwa tersebut kita dapat menganbil kesimpilan bahwa hubungan sek diluar nikah ini telah menjadi hal yang biasa, dan melakukan aborsi di saat dari hubungan sek tersebut menghasilkan janin maka itu menjadi pilihan yang terbaik tanpa memperdulikan resiko yang akan di dapat setelahnya.
Hubungan seks memang merupakan sebuah kesenagan, tetapi disaat hubungan tersebut di praktikan bukan pada waktu dan tempatnya akan berakibat sebuah rasa sakit yang sangat menyakitkan baik terhadap jasmani terutama rohani. Pemahaman kata Hedonisme atau kesenangan di saat ini jauh dari harapan yang di maksud oleh Epicurus, yang telah saya paparkan bahwa menurutnya kesenangan ialah ketenangan jiwa.
Hubungan seks, siapapun dan dimanapun manusia berada pasti ingin merasakannya, terkecuali ada hal-hal yang di luar kendali seperti halnya mempunyai gangguan kejiwaan dalam masalah sek, dan tentu itu sangat jarang sekali terjadi. Tetapi saat hubungan sek tersebut telah di praktikan bukan pada waktu dan tempatnya kebanyakan yang terjadi bukanlah kesenangan yang diharapkan yang akan datang tetapi masalahlah yang akan datang menghampiri. Dan ini telah keluar dari jalur paham Hedonisme yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh filsuf yunani seperti Epicurus, karena saat hubungan sek yang tadinya diharapkan akan memberikan sebuah kesenangan tetapi akhirnya akan menimbulkan masalah yang akan menyebabkan tidak adanya ketengan jiwa ini telah keluar dari apa yang di maksud Epicurus yang mengharapkan dari kesenangan tersebut akan melahirkan ketenangan di dalam jiwa.
Hedonisme di lingkungan mahasiswa saat ini merupakan fenomena paham prilaku yang khas negara berkembang. Perilaku tanggung dalam menangkap modernitas sebagai nilai. Simbol modernitas ditangkap sebagai barang jadi dan tidak memahami proses yang tejadi yang mendahuluinya. Simbol-simbol lahiriah seperti arsitektur rumah, pusat-pusat perbelanjaan modern, tempat-tempat hiburan modern, makanan modern, tekhnologi modern, gaya hidup modern, itu harus meniru bangsa modern dan itu identik dengan dunia barat. Tentu saja, di sisi yang lain, apa saja yang berbau “tradisional” meskipun itu milik kita sendiri yang seharusnya menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi negeri kita ini dianggap ketinggalan jaman dan harus ditinggalkan, kalau bisa secepatnya dimusnahkan agar tidak ada lagi di negeri ini, hanya untuk sekedar mendapatkan sebutan sebagai negara yang modern.
Sesunggunhya persepsi tersebut, telah merusak di semua lapisan masyarakat tidak terkecuali lingkungan mahasiswa yang nota benenya seorang pelajar. Kasus yang terjadi seperti hubungan sek yang sudah dianggap sebagai hal yang biasa saat ini, kasus tersebut merupakan salah satu fenomena Hedonisme generasi muda dari sekian banyak yang lain yang terjadi di berbagai lapisan masyrakat. Keinginan yang berlebihan terhadap modernitas ini sepeti ingin memiliki barang-barang yang mewah, kehidupan dunia modern yang setiap sabtu malam datang untuk melaksanakan ibadah rutinan di bar-bar, diskotik dan sebagainya., itu dijadikan sebagai suatu kebutuhan yang dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi dan kalau tidak terpenuhi maka mendapatkan dosa karena dianggap masih menjadi manusia tradisional atau mahasiswa tradisional yang kerjanya hanya belajar, membaca, diskusi, kajian dan sebagainya.
Sebagai sebuah tawaran Solusi.!
Secara realita maupun logika, untuk menghilangkan sama sekali dorongan pemuasan kebutuhan jasmani adalah tidak mungkin. Saya yakin dari kalangan lapisan masyarakat manupun apabila di berikan pertanyaan seperti demikian pasti akan menjawab pula seperti halnya yang telah di paparkan diatas yaitu tidak mungkin untuk dihilangkan sama sekali. Sebab jasmaniah pula merupakan landasan penting untuk kesempurnaan hidup manusia. Tetapi seperti halnya yang telah di katakan Democritus, kesenangan fisik (jasmani) sebagai alat perangsang bagi berkembangnya intelektual manusia. Dalam arti tidak semata-mata hanya kesenangan jasmani saja yang kita harapkan tetapi dari hasil kita menikmati kesenangan jasmani tersebut kita dapat menghasilkan yang lebih yakni ketenangan jiwa.
Salah satu solusi yang kiranya saya dapat tawarkan adalah, dengan cara menyaring terlebih dahulu segala sesuatu yang dikatakan bersifat modern yaitu dengan kita memahami modern itu sendiri dan menumbuhkan kembali hukum-hukum yang bersifat tradisional, sehingga kita bisa benar-benar mengerti dan dapat menilai antara segi baik dan buruknya yang akan timbul dari hal tersebut. Misalkan hubungan sek di luar pernikahan yang marak terjadi di indonesia ini umumnya, apabila kita dapat benar-benar bisa mengerti apa yang akan kita dapatkan dari sebuah hubungan sek di luar pernikahan terutama dikalangan mahasiswa terlebih apabila terjadi di lingkungan siswa Sma ataupun Smp. Hampir dapat dipastikan akan memberikan jawaban itu tidak dapat dibenarkan meskipun kita bertanya terhadap pelakunya itu sendiri.
Hukum-hukum tradisional yang terkadang kita selalu melupakannya ternyata sangat memiliki arti yang sangat penting untuk mencegah gaya hidup Hedonisme yang berlebihan. Dalam hukum tradisional, kita telah mengetahui bahwa hubungan sek di luar pernikahan itu tidak dapat di benarkan apalagi di nilai dari sudut pandang agama, di dalam agama manapun sejauh yang saya ketahui tidak ada satupun agama yang dengan jelas memperbolehkan hubungan sek diluar pernikahan. Seandainya hukum tradisional seperti diatas bisa di terapkan oleh orang tua terutama sejak dini mungkin perilaku sek diluar hubungan pernikahan tersebut bisa di bendung.
Ada sebuah istilah yang menyatakan bahwa apabila kita ingin melihat masa depan maka lihatlah generasi mudanya. Sekarang apa yang kita bisa harapkan untuk masa depan jika sekarang kita melihat generasi muda kita sudah sangat sulit diharapkan termasuk mungkin saya sendiri sebagai penulis ini. Maka dari itu patut lah kita semua, merasa perlu untuk membangun sebuah masa depan yang cerah dengan cara kita membangun generasi muda terlebih dahulu yang mampu diharapkan untuk menciptakan masa depan yang cerah tersebut.
 Untuk menciptakan sebuah generasi muda yang mampu duharapkan untuk masa depan tentu itu memerlukan kerja keras dan kerja sama dari berbagai lapisan masyarakat, berbagai kalangan organisasi pemuda, organisasi mahasiswa, berbagai lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tak terkecuali agama dan pemerintah. Semua harus bekerja sama walaupun itu terasa sulit untuk dilakukan tapi sekiranya masih ada jalan untuk menggapainya, kenapa tidak kita untuk mencobanya. Modernisasi memang sulit untuk kita bendung tetapi kita pun tidak harus berdiam saja menikmati itu semua. Tetapi kita harus bisa menggiring arus modernisasi tersebut agar dampak yang timbul tidak terlalu berakibat buruk bagi kita semua.
Mahasiswa sebagai generasi yang sangat diharapkan untuk kemajuan masa depan bangsa, rasanya patut menjadikan dirinya sebagai penggerak dan mampu untuk menghadapi arus modern ini dengan mengcounter dan memfilter apapun budaya-budaya luar yang merusak oral yang bukan cerminan budaya ketimuran yaitu Indonesia. Karena hedonism bukanlah cerminan perilaku bangsa yang terhormat. Idiologi bangsa kita mengajarkan bagaimana kita berhemat dan tidak terlalu berlebihan dalam hidup kalaupun kita sebagai orang yang mapan baik dari sisi financial maupun lainnya. Hal ini sebagai bentuk refleksi dan penghargaan pada orang yang ada dibawah kita. Dimana jangankan bermewah-mewahan yang mereka rasakan, bahkan untuk makan sehari-hari saja agak sulit. Oleh karena itu tentunya sebagai kalangan terdidik seharusnya kita mampu meberikan tauladan dan contoh yang baik agar supaya tidak terjebak pada budaya-budaya hedonis yang dampaknya lebih pada persoalan negatif.
4. Opportunisme
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa opurtunisme adalah paham yg semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dr kesempatan yg ada tanpa berpegang pd prinsip tertentu (nomina). Oportunisme juga dimakni sebagai suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu. oportunisme adalah tindakan bijaksana yang dipandu terutama oleh motivasi mementingkan diri sendiri. Istilah ini dapat diterapkan untuk individu, kelompok, organisasi, gaya, perilaku, dan tren. Hal ini mungkin dipinjam dari ekspresi Italia opportunism (yang pada abad ke-19 politik Italia berarti "mengambil keuntungan dari keadaan yang berlaku") atau dari Republik oportunis di Perancis, dan memasuki bahasa Inggris di 1870-an.
Dalam tataran praksis oportunis lebih dimaknai pada sikap seseorang yang tidak memiliki prinsip tertentu, dimana bisa mengambil manfaat dari situasi yang ada untuk kepentingan dirinya. Oportunis tidak lebih sebagai sebuah parasit, tidak mau mengambil resiko, oportunis seperti bajing loncat. Tidak tuntas dalam persoalan ini lalu lari ketempat aman dimana dia bisa diuntungkan dengan pelariannya dan menyisakan kerugian pada apa yang ditinggalkannya. Sikap oportunis yang terpenting adalah bagaimana hasratnya terpenuhi, tidak mau tahu apakah ada yang rugi atau tidak dengan sikap yang diambilnya.
Banyak hal sebenarnya yang contoh dan fakta yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Dalam dunia politik misalnya bisa kita lihat mana para politisi yang memiliki prinsip benar-benar punya political will untuk mensejahterahkan rakyatnya dengan mereka yang hanya mengekor pada yang berkuasa, dengan catatan bahwa proses yang dia lakukan menguntungkan bagi dirinya dan partainya. Politisi oportunis memiliki inkonsistensi sikap dalam memperjuangkan apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Ketika masih dalam proses kampanye, dia begitu dekat dengan rakyatnya dan berjanji melakukan ini dan itu untuk memperjuangkan hak masyarakat dan rakyatnya di parlemen, tapi ketika jadi duduk dikursi empuk parlemen dia justru ikut mana penguasa yang dipandang memiliki power dan menguntungkan dirinya, tidak peduli apakah kebijakan yang diambilnya justru merugikan masyarakat yang paling prinsip adalah ketika dia melakukan skap ini dia aman dari posisi jabatannya. Kalau dia tetap mencoba memaksakan diri untuk melawan arus yang berpihak pada rakyat dia khawatir justru posisi dirinya terancam dari partainya untuk diganti. Jadi politisi model oportunis seperti ini lebih memilih menghianati rakyat dan bangsanya daripada posisi dirinya diberhentikan.
Sikap oportunis sangat berbahaya dan merugikan bagi siapapun, sikap ini bisa terjadi pada aspek apapun tak terkecuali dalam dunia pendidikan, baik pada dosen itu sendiri yang memanfaatkan mahasiswanya maupun mahasiswa yang memanfaatkan mahasiswa lainnya. Sebagai akademisi tentu kita malu kalau memiliki sifat seperti ini, karena disamping kita dianggap sebagai kaum intelektual, kita juga menjadi harapan penerus generasi bangsa. Apa jadinya kalau misalnya kalangan intelektual menjadi kaum oportunis?. Tentu bumi pertiwi akan menangis melihat kondisi ini. Jadi sebagai kaum intelektual banyak hal positif lain yang bisa lakukan tanpa harus melakukan sikap oportunisme yang menurut hemat penulis adalah sebagai bentuk pengingkaran pada pancasila yang mengajarkan bagaimana kita bersikap arif dan terbuka terhadap sesama, katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah bukan malah sebaliknya. Dunia mahasiswa hari ini kerap kali dijadikan sebagai ajang dan media melakukan sikap-sikap oportunisme. Sebutlah misalnya bagaimana para oportunis menjadi joki dalam tes masuk perguruan tinggi, menerima jasa pembuatan skripsi dan lain sebagainya. Parahnya lagi terkadang dimainkan oleh oknum-oknum dosen yang ada di kampusnya. Miris melihat potret dunia akademis yang seperti ini, sehingga kedepan perlu adanya motivasi dan sugesti yang dilakukan oleh para stake holder kampus yang memiliki hati dan kejernihan pikiran untuk menyadarkan mereka – mereka yang telah menjadi pelaku oportunis. Disamping kampus juga memberikan regulasi yang begitu ketat bahwa kalau mereka benar-benar terbukti melakukan hal yang disebutkan diatas akan dikeluarkan dari almamater tersebut, karena apa yang mereka lakukan memperparah kondisi pendidikan di negeri yang kita cintai ini.
2.1.3. Faktor faktor apakah yang mengakibatkan degradasi moral Mahasiswa
Disamping masuknya nilai-nilai dan budaya luar yang telah menyebabkan lunturnya nilai-nilai Pancasila pada diri mahasiswa dan masyarakat Indonesia, masih Banyak faktor lain yang juga menyebabkan timbulnya prilaku – perilaku menyimpang dikalangan para mahasiswa. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama.
Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karen pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak ornag yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yangkurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengaewasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.
Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengertyi man auang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mantal, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yanglebih rusak moralnya perelu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutakan diatas, karena tidak efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
Ketiga, Budaya materialistis dan sekularistis.
Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun gajala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan,bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
Keempat, Peran Pemerintah
Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakuka pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semaikin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, materi dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehilangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Kelima, Peranan Media
Kemudahan akses yang bisa didapatkan oleh siapapun sangat berperan penting dalam mempengaruhi moral mahasiswa bahkan dua tingkat jenjang pendidikan dibawahnya. Luar biasa dan sangat parah. Disadari atau tidak kita sudah paham bagaimana mahasiswa dan siswa begitu mudahnya mengakses situs-situs yang tidak seharusnya dia lihat sebelum waktunya sudah bisa didapatkan dengan mudah dengan biaya yang begitu relatif murah dan terjangkau.
Sampai detik ini selain undang – undang tentang pornografi,  belum ada proteksi yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan tindakan preventif misalnya bagaimana kemudian menutup akses situs-situs yang merusak moral yang bisa dibuka oleh siapapun. Termasuk kerjasama antara penegak hukum dengan pihak pemilik jasa internet, sampai detik ini belum ada MOU yang dibangun antara aparat pemerintah dengan Pemilik jasa Internet . Sehingga pemilik jasa internet merasa tidak bersalah dengan apa yang dilakukannya bahkan merasa wajar – wajar saja, ditambah lagi dengan lokasi penempatan penggunaan internet yang dilokalisir dan terkesan tertutup sehingga sangat mempermudah untuk bisa mengakses seluas-luasnya. Kalau akses internet dibuat protektif dan aturan yang ketat yang diberikan oleh pemilik jasa internet bisa jadi internetnya tidak laku makanya sudah menjadi rahasia umum warung-warung internet di permak sedemikian rupa agar pelanggannya merasa nyaman mengakses situs-situs yang dia inginkan. Seandainya mau arif dan bijak, sepertinya tidak ada masalah akses apa yang kita buka oleh siapapun, namanya juga keterbukaan informasi. Kecuali orang-orang tertentu yang dalam hal ini sudah bisa dan diperbolehkan secara hokum mengakses Internet diberi tempat khusus agar supaya pencegahan untuk meminimalisir perilaku amoral benar-benar bisa dikurangi.
Undang-undang pornografi sejatinya ada sebagai bentuk preventif dan metode untuk mengurangi kerusakan moral yang terjadi di negeri ini justru mandeg dan kurang begitu bertaring karena terbukti dari jutaan pelaku amoral bangsa ini belum ada proses hukum yang dilakukan kecuali mereka yang menjadi sorotan public. Karena bisa kita lihat bahwa sweeping dan pencegahan yang dilakukan masih setengah hati. Terbukti dengan sangat minimalnya peran pemerintah dan stake holder yang ada mencari alternative-alternatif solutif untuk menemukan jalan keluar dari problem amoral yang terjadi di masyarakat. Belum ada kerjasama antara kepolisian dan pihak kampus untuk melakukan check and open laptop mahasiswa yang ada dikampus-kampus untuk mengetahui apakah dia menyimpan file-file terlarang di laptop pribadinya. Tentunya sebagai kalangan cendikiawan seharusnya kita, disamping kewajiban secara personal untuk tidak menyimpan situs-situs tersebut, kita juga punya kewajiban mengingatkan rekan-rekan sejawat kita bila mana terbukti menyimpannya untuk tidak disimpan, diputar apalagi disebar luaskan kepada orang lain yang justru memperparah kondisi bangsa ini. Sebenarnya tidak perlu dan saling menyalahkan siapa sebenarnya yang bertanggung untuk dalam konteks ini, namun kerjasama semua pihak baik stake holder sebagai person yang paling berwenang, Penyedia jasa warnet dan juga para pengguna layanan ini. Hemat penulis Selama ada iktikad baik dari berbagai pihak tentunya akan sangat mudah untuk melakukan preventisasi terhadap hal-hal yang mempengaruhi moral anak muda bangsa.
Itulah diantara faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kemerosotan moral bangsa. Tergantung bagaimana tindak lanjut strategi pendidikan agama, Pendidikan moral yang telah dicantumkan dalam pancasila yang efektif dan terinternalisasi kedalam setiap mahasiswa atau remaja, sehingga wajib rasanya kita melaksanakan penerapan pendidikan moral pancasila disetiap jenjang dan jurusan yang berbeda disetiap mahasiswa yang selama ini hanya dicukupkan pada pendidikan tingkat jenjang atas tapi tidak pada jenjang mahasiswa kecuali memang dia mengambil satu studi jurusan yang khususnya membahas tentang pancasila. Untuk itulah dalam mengatasi permasalahan tersebut diatas, tampak harus segera dirumuskan dan diwajibkan agar anak-anak muda kita sedikit demi sedikit memiliki pedoman yang kuat sehingga bisa meminimalisir masalah-masalah moral yang terjadi dimasa yang akan datang.
2.1.4 Bagaimana peran Pancasila dalam memfilter arus globalisasi?
Globalisasi adalah sebuah fenomena dimana batasan-batasan antar negara seakan memudar karena terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan terjadinya perkembangan berbagai aspek kehidupan khususnya di bidang iptek maka manusia dapat pergi dan berpindah ke berbagai negara dengan lebih mudah serta mendapatkan berbagai informasi yang ada dan yang terjadi di dunia. Namun fenomena globalisasi ini tidak selalu memberi dampak positif,berbagai perubahan yang terjadi akibat dari globalisasi sudah sangat terasa,baik itu di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi informasi.
Berbagai dampak negatif terjadi dikarenakan manusia kurang bisa memfilter dampak dari globalisasi sehingga lebih banyak mengambil hal-hal negatif dari pada hal-hal positif yang sebenarnya bisa lebih banyak kita dapatkan dari fenomena globalisasi ini.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara ini haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara,berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak mampu untuk menggantikankan pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia,pancasila terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai dasar negara,itu membuktikan bahwa pancasila merupakan ideologi yang sejati untuk bangsa Indonesia.
Oleh karena itu tantangan di era globalisasi yang bisa mengancam eksistensi kepribadian bangsa,dan kini mau tak mau,suka tak suka ,bangsa Indonesia berada di pusaran arus globalisasi dunia.Tetapi harus diingat bahwa bangsa dan negara Indonesia tak mesti kehilangan jatidiri,kendati hidup ditengah-tengah pergaulan dunia.Rakyat yang tumbuh di atas kepribadian bangsa asing mungkin saja mendatangkan kemajuan,tetapi kemajuan tersebut akan membuat rakyat tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri.Mereka kehilangan jatidiri yang sebenarnya sudah jelas tergambar dari nilai-nilai luhur pancasila.
Dalam arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-batasan yang jelas antar setiap bangsa Indonesia, rakyat dan bangsa Indonesia harus membuka diri. Dahulu, sesuai dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya hindu,islam,serta masuknya kaum barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme. pengalaman pahit berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali terulang.
Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi penguasaan politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan berdampak sama seperti penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan dari apa yang dirasakan dimasa lalu.
Dalam pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsa lain. Bahkan, negara sosialis seperti Uni Soviet—yang terkenal anti dunia luar—tidak bisa bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini, konsep pembangunan modern harus membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri. Dalam upaya untuk meletakan dasar-dasar masyarakat modern, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain.
Yang terpenting adalah bagaimana bangsa dan rakyat Indonesia khususnya kaum intelektual seperti mahasiswa minimal mampu menyaring agar hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa saja yang terserap. Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang tidak sesuai apalagi merusak tata nilai budaya nasional mesti ditolak dengan tegas. Kunci jawaban dari persoalan tersebut terletak pada Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara. Bila rakyat dan bangsa Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai luhur bangsa, maka nilai-nilai atau budaya dari luar yang tidak baik akan tertolak dengan sendirinya. Cuma, persoalannya, dalam kondisi yang serba terbuka seperti saat ini justeru jati diri bangsa Indonesia tengah berada pada titik nadir.
Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham liberalisme. Padahal, negara Indonesia—seperti ditegaskan dalam pidato Bung Karno di depan Sidang Umum PBB—menganut faham demokrasi Pancasila yang berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.
Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa Indonesia. Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM) dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain.
Budaya dari luar, khususnya faham liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Akibatnya, seperti terlihat saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam kondisi seperti itu—sekali lagi—peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari solusi dari persoalan tersebut .
Dalam pandangan hidup terkandung konsep mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa. Juga terkandung pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup bisa diterjemahkan sebagai sebuah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa yang diyakini kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan hidup dan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri.









BAB III
METODE PENELITIAN
1.      Tipe Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif qualitatif. Dimana metode ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta, karacteristik dan relasi antara fenomena yang di teliti (Nazir, 1988:63)  penelitian ini disebut qualitatif karena berhubungan dengan data verbal, bukan jumlah, statistik ataupun angka (ibid).
2.      Pengumpulan data
Sebagai pendukung dalam pengumpulan data dalam penelitian Pustaka ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama data utama yaitu Isme-isme penyebab lunturnya nilai pancasila dan kedua data pendukung yang didapatkan dalam berbagai sumber seperti buku-buku, Jurnal-jurnal nasional, majalah, surat kabar dan media elektronik dan internet.
Dalam data tersebut juga dipelajari tentang makna ideologi pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, Penyebab lunturnya nilai-nilai pancasila dan degradasi moral yang terjadi diantara para pemuda bangsa, dengan harapan bahwa proses penelitian ini akan melahirkan sebuah konsep yang komprehensif tentang makna ideologi, penyebab lunturnya ideologi negara dan bagaimana pengaruh budaya luar sehingga melunturkan nilai-nilai yang seharusnya pegangan setiap warga negara Indonesia.
3.      Tekhnik menganalisa data
Semua data yang terkumpul akan diseleksi akan dianalisa berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dengan pendekatan theori yang digunakan dalam penelitian ini. Analisa data pertama adalah bagaimana sejarah pancasila lahir sehingga menjadi ideologi bangsa ini, tujuannya dan perdebatan yang terjadi didalamnya. Analisa yang keduanya adalah paham-paham yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai pancasila baik secara spesifik maupun contoh-contoh yang pada umumnya terjadi dimasyarakat sekitar kita dan apa dampaknya dimasa yang akan datang. Kemudian dari data yang terkumpul penulis akan menganalisa dengan mengintrepetasi korelasi ideologi bangsa dan lunturnya nilai-nilai tersebut dengan masuknya paham-paham baru yang telah masuk kedalam jiwa masyarakat bangsa Indonesia.




BAB IV
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil analisa dalam penelitian tersebut, ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari penelitian yang penulis lakukan diantaranya adalah:
Pertama
Idiologi lahir sebagai sebuah pegangan dan cara menjalani hidup sesuai dengan budaya dan geografi dimana penganutnya tinggal. Dikatakan terjadi penyimpangan dalam sebuah ideologi bilamana warga negara dalam suatu negara sudah tidak lagi memahami cara memaknai dan menjalankan ideologi bangsanya. Dampak dari ketidak pahaman terhadap ideologi bangsa negaranya akan melahirkan sebuah sikap yang keluar dari nilai-nilai yang diinginkan oleh ideologi tersebut sehingga berdampak pada sebuah anomali dan kecintaan terhadap Negara dan masyarakat sebangsa setanah air.
Ketika kecintaan pada sebuah negara sudah hilang dan kecintaan pada masyarakat sebangsa setanah air sudah runtuh, menjadi sebuah keniscayaan bahwa dia akan mencoba bahkan akan mudah terpengaruhi dengan ideologi lain yang tidak mencerminkan citarasa bangsanya sendiri yang mengakibatkan pada masa depan bangsa dimasa yang akan datang.
Tentunya sebagai penulis dan pembaca dalam makalah ini, perlu kiranya melakukan peran-peran strategis sebagai sebuah upaya bagaimana meminimalisir dampak negatif dari ketidak pahaman warga negara terhadap ideologi bangsa dengan berbagai macam cara dan strategi yang berbeda dengan prinsip bahwa nilai ini harus sampai dan menjadi pegangan warga negara bangsa yang kita cintai. Salah satunya adalah adalah media pendidikan baik mulai dari tingkat dasar sampai pada sebuah Universitas, Pancasila seharusnya dijadikan mata pelajaran yang diwajibkan bahkan diuji nasionalkan sebagai sebuah nilai yang menentukan kelulusan siswa dibandingkan dengan hanya sekedar mata pelajaran atau mata kuliah lain yang itu tidak lebih penting dari pancasila.

Kedua
Preventifisasi Nilai negatif dari paham-paham diluar kebudayaan kita sendiri seharusnya dilakukan sejak dini dengan membiasakan diri kita semua khususnya Para stake Holder Negara Baik didaerah lebih-lebih ditingkat pusat harus memberikan tauladan yang baik bagi masyarakatnya dengan tidak mempertontonkan hal-hal yang mewah dimana masyarakat lainnya masih sangat langka untuk meraihnya, Para Tenaga Pendidik kita agar lebih menekankan pada pendidikan moral dan pendidikan yang berkarakter kepada siswanya agar peserta didiknya lebih kuat memiliki budaya rasa malu dari pada rasa Bangga mempertontonkan fanatisme dan tawuran antar sesama remaja dengan sekolah lainnya. Karena tontonan yang mereka lakukan sudah mencerminkan bahwa nilai-nilai kebersamaan yang seharusnya mereka rangkai sebagaimana yang diisyaratkan pancasila telah luntur diganti dengan potret perpecahan yang dilakukan sejak dini dengan melakukan tawuran sesama pelajar. Pertanyaannya bagaimana kalau mereka dewasa nanti?.
Ketiga
Proses Filterisasi dalam berbagai media baik elektronik maupun media-media seperti majalah seharusnya bukan hanya sekedar Icon, Simbol dan produk hukum yang dibuat untuk mencegah masuknya ideologi baru bagi anak bangsa akan tetapi perlu tindakan nyata yang dilakukan secara terus menerus oleh aparat hukum dengan bekerjasama kepelbagai pihak baik Institusi sekolah, Orang tua, Komite atau LSM-LSM yang peduli terhadap pendidikan. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan generasi bangsa kita agar tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan oleh kita semua.
Keempat
Perlu adanya kreatifitas bagaimana mempermak methodologi penyampaian nilai-nilai pancasila baik melalui institusi sekolah maupun pendidikan kepada masyarakat secara langsung, tentunya untuk memaksimalkan terinternalisasi nilai-nilai pancasila kepada para remaja, pemuda dan masyarakat sangat diperlukan adanya review ulang tentang bagaimana makna belajar di institusi pendidikan formal dimana sampai detik mereka hanya diwajibkan lulus mata pelajaran dan mata kuliah tertentu dengan cara menambahkan pancasila sebagai mata kuliah wajib yang harus diberlakukan sama yaitu wajib lulus dengan standart-standart pemahaman yang sudah ditetapkan oleh lembaga pendidikan nasional. Bahkan kalau dibutuhkan perlu adanya reward dan punishment bagi mereka yang prestatif dan berhasil lulus dan bagi mereka yang acuh tak acuh dengan mengeyampingkan mata pelajaran dan mata kuliah pancasila. Kalau pemerintah tetap tidak tegas dan menetapkan standarisasi nilai kelulusan hanya dengan itu-itu saja jangan heran kalau kemudian pancasila akan terus dilupakan dan hanya orang tertentu saja yang memahaminya.
Kelima
Kompleksitas problem yang terjadi akhir-akhir ini dinegara yang kita cintai baik mulai dari problem nasional seperti ekonomi, krisis politi, krisis kepercayaan antara sesama masyarakat, Agama, golongan suku dan lain sebagainya sampai pada persoalan ideologi dan paham-paham yang kemudian menjuruskan seluruh lapisan masyarakat seharusnya menjadi bahan evaluasi dan refleksi demi terwujudnya masayarakat bangsa yang bersatu padu, menghindari berbagai perpecahan sejak dini dan mulai dari lini terdepan. Utamakan komunikasi yang persuasif agar semua bisa menahan emosi. Toh setiap masalah pasti ada jalan keluarnya senyampang kita mau duduk bersama dalam menyelesaikan setiap problem yang kita hadapi dengan lapang dada. Utamakan kepentingan nasional dari pada kesukuan, kepeningan bersama dari pada kelompok, kepentingan perdamaian daripada memenangkan salah satu pihak. Karena ketika ada yang “miss” dalam satu aspek akan sangat berdampak sistemik yang berkaitan satu dan lainnya. Mulailah dari hal terkecil untuk bisa kita hindari, lakukan apa yang kita mampu, sampaikan kebenaran kalaupun itu sulit, yakinlah bahwa semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan jiwa yang besar.

BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kenegaraan. Oleh karena itu, pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah serta menjungjung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung jawab.
Lunturnya nilai-nilai pancasila dalam masyarakat tidak lebih sebagai dampak dari majunya arus informasi yang tanpa sekat dan aling-aling dengan memasukkan nilai-nilai dan budaya yang begitu bebas sehingga sangat mudah untuk mempengaruhi kondisi bangsa khususnya para pemuda. Sebagai langkah solutif dalam mencegah rusaknya moral bangsa dan rakyat Indonesia. Perlu adanya kerjasama antara para stake holder, penegak hokum, politisi dan seluruh elemen masyarakat bangsa ini sehingga kerjasama yang dilakukan akan melahirkan counter sosial dan budaya yang tidak diinginkan dengan memproteksi bangsa ini dari nilai-nilai kebudayaan luar justru menjauhkan diri dan merusak moral-moral generasi Bangsa.
Dalam era terbuka ini negara Indonesia tidak bisa menghindari akan adanya tantangan globalisasi, Indonesia harus tetap siap menghadapinya dan melakukan preventisasi budaya Hedonis, Egois, Oportunis, dan budaya – budaya luar lainnya yang masuk  dengan dan harus mulai memformat ulang dengan menjadikan pancasila sebagai pedoman dalam menghadapi globalisasi bangsa. Sehingga Indonesia akan tetap bisa menjaga eksistensi dan jatidiri bangsa Indonesia.


BIBLIOGRAPHY
___________________ 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola,
Echols, John M. dan Hasan Shadily. 1995. kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Suseno, Franz Magnis. 1987, Etika Dasar; Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Kamal, Musthafa, Drs, B.Ed. 2003. Pancasila Dalam Tinjaun Historis, Yuridis dan Filosofis. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Tjahjadi, Simon Petrus L. 2004, Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Petualangan Intelektual.
Muchji, Ahmad,Drs,H.MM.dkk,Gunadarma,Jakarta,Pendidikan Pancasila,2006.
Tim penyusun Universita Gadjah Mada bekerjasama Mahkamah Konstitusi. 2009. Proceeding Pancasila “Pancasila Dalam Berbagai Perspektif”. Yogyakarta: Sekretariat Jendral dan Mahkamah Konstitusi.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. 2004. Bekasi: Delta Pamungkas
http://www.scribd.com/doc/21121576/Sejarah-Lahirnya-Pancasila


[1] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992), hal. 230.
[2] Arti kata ideology menurut Kamus Oxford adalah (1) a set of ideas that an economic or political system is based on; (2) a set of beliefs, especially one held by a particular group, that influences the way people behave. Sedangkan menurut Martin Hewitt, ideologi adalah “the system of ideas and imagery through which people come to see the word and define their needs and aspiration”, dan “a system of ideas, beliefs and values that individuals and societies aspire toward.” Lihat, Martin Hewitt, Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare State, (Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8.
[3] Karl Mannheim misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang bersifat ideologis berarti pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subyektif seseorang, daripada sarat dengan fakta-fakta empiris. Lihat, Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Judul Asli: Ideology and Utopia, An Introduction to the Sociology of Knowledge, Penerjemah: F. Budi Hardiman, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar